Akar

Jejak Terang Roman Medan

Awal abad 20 Kota Medan bergeliat sebagai kota modern baru di Timur Sumatera.  Bangunan megah seperti Hotel de Boer, Medan Town Hall, Deli Bioscoop Bedrijf, dan lainnya menambah suasana ramai kota. 

Denyut Kota Medan datang dari penduduknya yang berjumlah sekitar 70-an ribu pada tahun 1930-an. Terdiri dari berbagai macam mulai dari bumiputera, Eropa, Tionghoa dan lainnya. Ramainya Kota Medan saat itu disebabkan oleh perkembangan perdagangan, perkebunan, hingga kesenian  dan pendidikan yang terus mengalami peningkatan. 

Sejalan dengan denyut tersebut, penerbitan di Kota Medan saat itu juga berkembang pesat dan sibuk. Mulai dari surat kabar, komik hingga roman. Koko Hendri Lubis dalam Roman Medan Sebuah Kota Membangun Harapan mengutip Faizah Soenoto seorang akademisi yang menyebutkan bahwa Balai Pustaka dan Pujangga Baru bukan satu satunya bacaan yang mewakili dunia roman sebelum perang. 

Ia mencatat, sejak tahun 1930 hingga 1940 roman (majalah roman) banyak diterbitkan dari Medan, Padang, Bukit Tinggi dan Solo. Tahun 1939 bahkan pernah diadakan konferensi roman. Pada konferensi tersebut hadir tokoh mulai dari pengarang, wartawan, dan penerbit. Antara lain Joesoef Sou’yub, Hasan Noel Arifin, Yunan Nasution, Hamka, Matu Mona dan lain sebagainya. 

Konferensi tersebut tulis Koko, menghasilkan kesepakatan yakni penerbitan roman dianggap perlu untuk kepentingan kemajuan bacaaan rakyat. Serta mutunya perlu diperbaiki sehingga roman-roman yang bersifat cabul dan merusak susila dapat diberhentikan riwayatnya, tulis Koko. 

Roman Medan sendiri umumnya diterbitkan pada majalah berseri. Biasanya Roman Medan bercerita tentang gambaran penduduk yang ada di Kota Medan. Kota Medan sendiri dijadikan latar tempat. Oleh sebab itu, Roman Medan bisa dianggap sebagai gambaran penduduk Kota Medan atau Sumatera Timur pada saat itu. Meski ada juga roman yang berlatar tempatnya di luar Kota Medan. 

“Kejadian dalam hidup yang dialami oleh seorang pengarang bisa saja sama dan mirip dengan orang lain,” tulis Koko.

Misalnya Hamka dalam pengantar bukunya Merantau ke Deli mengatakan sumber cerita karangannya tersebut berasal dari pengalamannya menjadi guru agama di Sumatera Timur. “Merantau ke Deli ini buku yang sangat memuaskan hati saya, sebab, sumber bahannya semata-mata saya dapati dari apa yanng terjadi di masyarakat, apa yang saya lihat dan saya saksikan,” kata Hamka.

Koko menulis, roman Medan memiliki karakteristik tersendiri dalam hal tema cerita, orientasi, dan kreativitas pengarang. Ceritanya pun beragam mulai dari kehidupan sehari-hari masyarakat hingga cerita detektif. Roman tersebut menggambarkan pluralisme, berbahasa melayu yang mudah dipah, autobiografi, mi pembaca. 

“Sesekali ada unsur dialek khas Medan dalam dialog antartokohnya, terkadang ada sisipan daliek antar etnis yang berdiam di Sumatera Timur,” tulis Koko.

Masifnya distribusi roman tidak membatasi penjualan oleh siapapun. Roman dijual langsung ke pelanggan. Ada pula yang ditipkan kepada distributor buku besar. Roman pula dijual oleh pedagang keliling. Oplah roman yang dicetak beragam, ada yang seribu hingga lima ribu eksemplar. 

“Roman sebisa mungkin diecer dengan harga yang terjangkau masyarakat karena jumlah halamannya tidak terlalu tebal, bisa jadi ini merupakan strategi utnuk memudahkan pemasaran,” tulis Koko.

Roman Medan juga mendapat perhatian dari kalangan luas bahkan dari luar Sumatera Timur saat itu. Misalnya saja, Roman Derita (1940) yang ditulis oleh Joesoef Sou’yb mendapat tanggapan dari Hamka di Pedoman Masyarakat dan Sayoeti Melik di Semarang Pesat. Hal itu disebabkan distribusi roman Medan yang tidak hanya menyasar masyarakat Sumaetra Timur saja bahkan hinga ke Jawa.

Menurut Koko, buku-buku roman bisa populer di masyarakat lantaran bertumbuhnya ekonomi dan kebutuhan bahan bacaan masyarakat. “Rata-rata pengarang berpihak dan menyuarakan kepentingan rakyat kecil, roman Medan disukai  karena tanpa sungkan memberikan kritik terhadap sistem yang tak berpihak pada masyarakat bawah,” tulis Koko. 

Pasang Surut

Masuknya bala tentara Jepang  sempat menghentikan sementara kegiatan penerbitan roman. Namun setelah merdeka, geliat penerbitan pun kembali lagi. Namun kondisi perekonomian Kota Medan berubah pada akhir tahun 1960-an. Roman Medan pelan pelan hilang ditelan masa. 

Pada saat itu, kertas lebih diutamakan untuk mencetak surat kabar. “Dari sudut dunia penerbitan roman, banyak pelaku suaha yang patah arang dengan keputusan ini, roman Medan dengan pasar pembaca yang jelas, perlahan tapi pasti harus tersungkur dan hilang ditelan perubahan zaman,” tulis Koko.

Koko juga berpendapat, tidak bertahannya roman Medan disebabkan beberapa faktor. Koko menyebut penerbitan roman Medan tidak memiliki produktivitas yang stabil. Ada beberapa penerbit yang gulung tikar setelah menerbitkan beberapa roman. 

Permasalahan lain diantaranya penerbit yang sulit menemukan naskah bagus. Hal tersebut disebabkan honor penulis roman juga dirasa tidak sebanding dengan usaha menulisnya. Pembaca umum dan terpelajar yang lebih suka membaca sesuai bidang keilmuannya ketimbang baca roman. Serta pemasarana  dan hal lainnya.

Meski begitu, menurut Koko, idealisme pengarang roman Medan berdasarkan pada kecintaan terhadap buku dan pengetahuan. “Kegigihan seperti ini termasuk pekerjaan yang tidak bisa dibilang sepele, para pengarang punya energi besar utnuk mengeluarkan kemampuan dalam menulis, semuanya mendaraskan pengetahuan bagi masyarakat,” tulis Koko. 

Roman Medan pernah berjaya dan populer pada masanya. Bagaimanapun, roman Medan memberikan sumbangan sejarah pada bangsa khususnya masyarakat Sumatera Utara. “Roman Medan adalah pelita kecil yang menyuarakan keanekaragaman pikiran manusia, pengarangnya boleh tiada dan zaman keemasannya mungki telah berlalu, namun jejak perjuangan dan apa yang mereka lakukan akan tetap abadi di dalam dunia literasi masa kini,” kata Koko.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button