Akar

Jejak Kongres Bahasa Indonesia Ke-2 di Medan

Antara Menteri bersama Ibunya atau Menteri Bersama Istrinya

Di kampung saya, Jawa Tengah, bahasa pergaulan pakai Bahasa Jawa, tapi disini (Sumatera Utara) bahasa pergaulan pakai Bahasa Indonesia,” kata Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara (Sumut) Maryanto.

Maryanto mengakui Sumatera Utara (Sumut) merupakan contoh yang baik bagi penggunaan Bahasa Indonesia. Jauh sebelum Maryanto, Sekitar tahun 1954, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (P P dan K) Muhammad Yamin menyebut Sumut, khususnya Medan merupakan kota yang menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik.

Menurut Yamin, di Kota Medan Bahasa Indonesia dipakai dan terpelihara, baik dalam kalangan rumah tangga ataupun dalam masyarakat. Maka, pada tahun 1954, terpilihlah Kota Medan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia kedua. Kongres di Medan ini merupakan kongres pertama yang dilakukan setelah Indonesia merdeka.

Kongres Bahasa Indonesia pertama diselenggarakan di Solo pada tahun 1938. Latar belakang kongres ini disebabkan Bahasa Indonesia belum dipakai secara luas dan belum ada pedoman bagi masyarakat. Maka saat itu dirasa perlulah suatu forum untuk mendiskusikan dan menyepakati segala hal mengenai Bahasa Indonesia.

Setelah Indonesia berdaulat, kongres bahasa masih perlu diselenggarakan. Maka diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia kedua.

Kongres bahasa kedua dibuka langsung oleh Presiden Soekarno pada tahun 28 Oktober 1954 di Gedung Kesenian, Jalan Bali Medan. Pembukaan Kongres itu dirangkaikan dengan acara bersejarah lain. Mulai dari peletakan batu pertama kebun arca (sekarang Museum Negeri Sumut) oleh Soekarno. Hingga  pembukaan pameran buku oleh Fatmawati Soekarno di Balai Prajurit.

Tanpa disangka panitia, pengunjung kongres membludak. Panitia sempat kewalahan dengan penginapan para peserta yang membludak itu. Panitia memperkirakan anggota Kongres yang datang hanya 250 orang.

Ternyata kurang lebih 800 orang datang menjadi anggota kongres dan ada yang  hanya sekadar menonton saja. Asal pesertanya tak main main. Berasal dari seluruh daerah di Indonesia dan negara asing seperti Belanda, Prancis, India dan negara negara Semenanjung Melayu.

Seperti kongres biasanya, silang pendapat mewarnai jalannya rapat. Baru memasuki rapat pleno pemilihan pimpinan, sudah banyak silang pendapat antara peserta kongres. Muhammad Said pendiri Harian Waspada mengajukan anak Sumatera Utara yang harus menjadi pimpinan kongres. Mengingat Sumut mesti harus diberi kehormatan sebagai tuan rumah.

“Tidak salahnya kami yang tinggal di Sumatera Utara ini menganjurkan diri sendiri, walaupun itu bukan kebiasaan, karena yang saya lihat dan saya pikir, banyak nama orang yang ada di Sumatera Utara ini yang dapat saya tunjukkan, ” kata M Said.

Setelah banyak perdebatan mengenai siapa yang pantas menjadi pimpinan, M Hutasoit Sekretaris Jenderal Kementerian P P dan K memberi pendapat terakhir. Ia sepakat dengan usul M Said. Menurutnya tuan rumah layak diberi kehormatan.

“Dalam rapat bahasa ini kita tidak membicarakan soal politik, dan kita datang disini karena cinta kepada bahasa kita, juga saya datang dengan satu konsepsi saya harap dapat hendaknya diterima, saya usulkan dua orang dari tuan rumah dan satu orang yang bukan dari tuan rumah, ” kata M Hutasoit.

Akhirnya kongres sepakat. Terpilihlah pimpinan kongres Mr Mahadi, Dr A Sofyan, Prof Prijana.

Tidak sampai disitu, di satu pembahasan mengenai bahasa pergaulan dengan pers pun cukup panjang. Dibahas dalam beberapa kali rapat pleno. Madong Lubis menyebutkan ada fenomena gaya bahasa yang digunakan masyarakat umum dipengaruhi oleh surat kabar yang dibaca oleh masyarakat.

Madong yang juga guru, menceritakan pengalamannya sewaktu mengajar. Ia tidak akan pernah menuruti permintaan murid atau mahasiswanya apabila tidak menggunakan kalimat yang menurut Madong sopan. Menurut Madong, permintaan haruslah dimulai dengan kata tolong atau sejenisnya.

“Sukalah kiranya bapak membubuhkan tanda tangan bapak di dalam buku saya ini, barulah betul, ini saya wajibkan, pelajar-pelajar saya tidak akan memperoleh apa yang dimintanya kalau tidak menggunakan kalimat yang baik dan sopan, ” kata Madong.

Seringkali Madong hanya menerima kalimat kalimat singkat macam, “minta kapur pak” atau “saya datang minta tanda tangan bapak”. Menurutnya bahasa seperti itu dipakai anak muridnya lantaran dipengaruhi surat kabar atau pers.

Adinegoro, wartawan, menanggapi pernyataan Madong. Ia membalas bahwa guru juga ada yang menggunakan bahasa yang tidak baik. Adinegoro pun menceritakan guru yang Ia maksud.

Suatu ketika, Gubernur Sarimin bersama dengan M Yamin sedang berada di Nusa Tenggara. Kemudian seorang guru dengan pangkat yang tinggi menyambut sang Gubernur dan menteri.

Guru tersebut lantas menyambut keduanya dengan menyampaikan, “kami menyambut kedatangan pak gubernur dengan ibunya dan kedatangan pak menteri P. P dan K dengan ibunya, ” kenang Adinegoro.

Cerita tersebut merupakan contoh guru juga ada yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. “Ini sebagai gambaran, bahwa bukan saja di kalangan wartawan itu yang bersikap liar terhadap Bahasa Indonesia, ” pungkas Adinegoro.

Cerita Adinegoro tersebut rupanya disoroti oleh M Yamin. Dalam pidato penutupnya, M Yamin menganggap kisah guru yang diceritakan Adinegoro merupakan salah satu pelajaran yang dihasilkan oleh kongres.

“Dari kongres ini, pemerintah baru tahu bedanya antara kalimat Menteri P P dan K bersama ibunya dengan Menteri P P dan K bersama istrinya, ” kata Yamin.

Akhirnya dari silang pendapat mengenai bahasa pers tersebut, Kongres menghasilkan sebuah resolusi yang mempengaruhi bahasa jurnalistik sekarang yang tidak bersifat mutlak atau mengikuti perkembangan zaman.

Dalam pertimbangan resolusi yang diambil kongres disebutkan bahasa sebagai alat pers dan radio harus dibuat seefektif-efektifnya atau dijadikan sebaik-baiknya. Kekuatan bahasa sebagai alat pers dan radio terletak pada sifatnya yang mudah dan jelas. Sifat mudah dan jelas itu terjadi jika mengikuti pertumbuhan bahasa seperti timbulnya kata kata, langgam, gaya dan ungkapan baru di tengah masyarakat.

Selain itu, Maryanto, Kepala Balai Bahasa Sumut menyebut kongres Bahasa ke-2 yang diselenggarakan di Medan merupakan kongres yang penting. Banyak sekali keputusan penting yang lahir dari kongres ini. Salah satunya adalah usulan mengenai pembentukan badan kompeten yang bertugas menyempurnakan Bahasa Indonesia.

Penyempurnaan Bahasa Indonesia tersebut juga berkaitan dengan ejaan. Kongres tersebut juga mengusulkan supaya diadakan pembaharuan ejaan. Pada poin terakhir, ejaan  diusulkan masuk ke dalam undang-undang.

Keputusan mengenai ejaan tersebut mengusulkan agar ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf. Penetapan ejaan seharusnya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten. Serta ejaan itu hendaknya praktis namun tetap ilmiah.

Lantas setelah kongres tersebut, pemerintah mengangkat panitia ejaan. Dari panitia tersebut kemudian lahir Ejaan Pembaharuan.

Kongres ini juga mengusulkan penyamaan Bahasa Indonesia harus dilakukan dalam perundang-undangan dan administrasi. Tujuannya untuk menyeragamkan istilah-istilah dalam administrasi maupun perundang-undangan. Serta dapat mempermudah dan memperlancar persoalan surat menyurat pada masa itu.

Tidak sampai dia itu, film sebagai wadah untuk membuat Bahasa Indonesia berkembang juga menjadi bagian usulan kongres. Kongres meminta para pembuat film untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk itu pemerintah harus memberi perhatian yang besar pada film.

Menteri P P dan K M Yamin dalam pidato penutupnya mengakui kongres tersebut masih memiliki kekurangan. “Apabila lebih banyak mengundang atau berhubungan dengan seniman, seniman, sastrawan dan wartawan berbahasa Indonesia, kekurangan yang terasa ini tentulah akan menjadi pedoman untuk memenuhi tuntutan itu, jika sekirangan nanti kongres kesenian atau kongres bahasa pada hari depan berlangsung lagi,” ucap Yamin.

Hasil-hasil kongres akan ditindaklanjuti pemerintah dengan membentuk panitia untuk menjalankan saran-saran dari kongres tersebut. “Supaya tercapai tujuan kongres yaitu memelihara, menyempurnakan dan mengembangkan Bahasa Indonesia yang kita santuni,” ucap Yamin.

Kongres kedua di Medan ini kemudian mengilhami terjadinya kongres bahasa di Singapura pada tahun 1956. Kongres Singapura itu pun menghasilkan usulan yang penting yakni resolusi menyatukan Ejaan Bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan Ejaan Bahasa Indonesia di Indonesia.

 

Minta Kongres Kembali ke Sumut

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat agar Kongres Bahasa XII Tahun 2023 digelar di Sumut. Mengingat Sumut adalah daerah yang memiliki sejarah dan kepeloporan Bahasa Indonesia yang panjang.

“Kami bermaksud mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Mendikbud, agar penyelenggaraan Kongres Bahasa tahun 2023 dapat ditempatkan kembali di Medan atau bisa dimungkinkan di Barus, sebagai napak tilas atau jejak awal Melayu sebagai lingua franca yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia,” kata Gubernur Sumut Edy Rahmayadi yang saat itu diwakilkan oleh Sabrina Sekdaprov Sumut (27/10/2020).

Apabila Kongres Bahasa yang diselenggarakan di Sumut akan mendatangkan kunjungan yang banyak ke Sumut. Terutama dari negara serumpun atau tetangga seperti Malaysia yang dekat dengan Bahasa Indonesia.

Ketua Forum Silaturahmi Guru Besar Sumut Amrin Saragih juga sepakat Kongres Bahasa jika diadakan di Sumut. Menurutnya usulan tersebut wajar, lantaran Sumut sangat berperan dalam pengembangan Bahasa Indonesia.

“Sumut sangat berperan dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Perlu kita ingat sejumlah pengarang atau sastrawan hingga surat kabar di Sumut memegang peran penting dalam pengembangan Bahasa Indonesia,” kata Amrin.

Menurut Maryanto, di Sumut, Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu sudah tumbuh jauh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Keberagaman yang ada di Sumut menyebabkan Bahasa Indonesia menjadi lingua franca di daerah ini.

“Melting pot kancah lebur untuk meleburkan diri beragam ragam manusia, tapi dengan keragaman itu kita kuat, ini menjadi miniatur kebhinekaan Indonesia NKRI. Kalau Sumatera utara bermartabat itu ya betul kemartabatan sumut itu menjadi contoh bagi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button